JAKARTA, Inforajabaru.com – Sakit gigi mungkin terlihat sepele. Tak begitu menyeramkan dibandingkan kanker atau penyakit tidak menular lainnya.
Namun, sakit gigi yang banyak diakibatkan oleh lubang gigi sebenarnya dapat berdampak besar bagi kualitas hidup.
Itu dikatakan Prof. drg. Anton Rahardjo, Ph.D saat membacakan pidato upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Kedokteran Gigi Universitas Indonsesia, Depok, Rabu (06/9/2017).
Anton mengatakan, lubang gigi bisa membuat anak kesulitan mengunyah makanan, akibatnya mengganggu asupan gizi, daya tahan tubuh, kualitas kecerdasan, serta emosional anak.
“Banyak studi yang menunjukkan hubungan kuat terhadap parameter karies (lubang) gigi anak dengan berbagai parameter kesehatan dan kualitas hidup,” ucap Anton.
Pada ibu hamil, sejumlah penelitian menyebut kaitan penyakit gigi dan mulut seperti karies pada kelahiran prematur dan kelahiran dengan berat badan rendah.
Di beberapa negara di Asia, gigi berlubang merupakan penyakit paling umum yang terjadi pada 60-90 persen pada anak usia sekolah.
Sedangkan di Indonesia, pengidap karies gigi cenderung meningkat dalam tiga dasawarsa terakhir.
Dalam survei pada Bulan Kesehatan Gigi Nasional (BKGN) 2016, persentase anak usia 6 tahun di 25 provinsi terkena karies gigi sulung sebesar 74,44 persen.
Pada anak usia 12 tahun, BKGN tahun 2015 menyebutkan bahwa persentase gigi berlubang sebesar 53,9 persen.
“Kondisi ini terjadi karena pemahaman orang tua yang salah bahwa gigi sulung berlubang dianggap wajar karena akan diganti dengan gigi permanen," kata Anton.
"Padahal menyebabkan ketidaknyamanan, hipersensitif pada giginya secara berkepanjangan,” imbuhnya.
Dampak besar lubang gigi dibuktikan oleh penelitian D. Maharani dan timnya di Bekasi, Jawa Barat.
Riset yang melibatkan 800 murid Sekolah Dasar (SD) itu menunjukkan ada hubungan lubang gigi dengan prestasi belajar, jumlah presensi, kepercayaan diri, dan kualitas hidup anak.
Pemerintah telah menyadari pentingnya pencegahan karies gigi.
Melalui Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2015, pemerintah menargetkan bebas karies gigi usia 12 tahun pada 2030.
Memberantas lubang gigi susah-susah gampang karena terkait kebiasaan warga.
Jepang berhasil membebaskan karies gigi lebih dari 90 persen pada anak usia 12 tahun di daerah Yahiko, Provinsi Niigata. Waktu yang diperlukan tidaklah singkat, 27 tahun, dari 1970-1997.
Jepang melatih anak-anaknya mulai dari usia 4 tahun untuk berkumur dengan larutan flouride (Kumur-F) konsentrasi 0,05 persen setiap hari setelah sikat gigi bersama.
Setelah masuk SD, Kumur-F dilanjutkan dengan konsentrasi 0,2 persen setiap pekan. Lalu, penutupan ceruk gigi juga dilakukan bila gigi molar punya ceruk yang dalam.
“Kemungkinan tercapai target 2030 masih dalam pertanyaan," kata Anton mengomentari target Indonesia.
Dalam pidato mengukuhannya, Anton mengusulan pencegahan karies gigi dapat dilakukan tak hanya pada anak SD.
Langkah pertama, pencegahan dilakukan saat ibu hamil.
“Satu peres sendok teh baking soda dan satu peres garam dapur segera setelah muntah dapat kembalikan suasana asam jadi netral di rongga mulut, jadi perkecil risiko atrisi dan karies gigi,” kata Anton.
Bila Anda punya anak balita, kebiasaan mengunakan dot perlu diperhatikan. Umumnya, dot susu diberikan pada anak menjelang tidur. Kondisi itu jelas merusak. Ketika susu terlalu lama mengendap pada mulut dan gigi akan berubah menjadi asam.
Program Sikat Gigi Bersama (SIGIBER) juga perlu digalakkan. Para guru dapat berperan aktif dalam mengawasi anak saat SIGIBER dilaksanakan. Tujuannya adalah pembiasaan sikat gigi malam di rumah.
“Waktu program di Bekasi sekitar 3-4 tahun lalu, anak bisa jadi motivator. Si anak ikut ajak teman, saudara dan orang tuanya untuk sikat gigi,” ucap Anton.
No comments:
Post a Comment